Sebagai konsumen muslim, masyarakat tentu harus diberi informasi yang
memadai tentang halal-haramnya obat-obatan yang akan mereka konsumsi.
Oleh karena itu, pemerintah harus pula memberikan jaminan bahwa obat
yang diberikan kepada masyarakat benar-benar terbebas dari unsur haram.
Bagaimana tanggapan LPPOM MUI mengenai hal tersebut? Berikut kutipan
wawancara singkat dengan Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si
Saat ini orang ramai memperbincangkan tentang kehalalan obat. Sejauh mana urgensi kehalalan obat bagi konsumen?
Kehalalan obat bagi konsumen di Indonesia sangatlah penting, mengingat
mengkonsumsi obat bagi umat Islam yang merupakan konsumen terbesar
adalah wajib. Hal ini merupakan hak konsumen muslim yang dilindungi oleh
undang-undang, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen antara lain adalah hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk yang akan mereka
konsumsi. Dalam hal ini, informasi tentang kehalalan termasuk di
dalamnya.
Selain itu, standar kehalalan obat tidak akan membuat khasiat suatu
obat menjadi menurun, karena yang diminta adalah jika ada bahan obat
yang tidak halal, dicarikan alternatif penggantinya dari sumber halal.
Dan sesuai ajaran Islam bahwa Allah menciptakan penyakit beserta
obatnya, maka pengganti bahan haram pasti akan ada jika diusahakan.
Mengapa sertifikasi halal untuk obat dipandang sangat mendesak?
Seperti halnya makanan dan minuman, obat-obatan dan kosmetika adalah
produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat konsumen Indonesia yang
mayoritas muslim. Bagi muslim, memperoleh produk halal, termasuk obat,
adalah hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena
itu, pemerintah hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam
menjalankan syariat agamanya, termasuk dalam mengkonsumsi obat-obatan
yang terjamin kehalalannya.
Alasan lainnya, dalam waktu dekat, tepatnya per 1 Januari 2014,
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial) Bidang Kesehatan akan segera diberlakukan. Ini artinya,
masyarakat yang akan berobat atas jaminan negara atau perusahaan,
sebagai konsekuensi dari pemberlakuan UU BPJS akan semakin banyak karena
telah UU yang menjamin hal tersebut.
Hak masyarakat untuk memperoleh kesehatan juga sangat penting. Kami
sangat menyadari bahwa kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak,
sesuai dengan amanat UU No.36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan
bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan. Di sisi lain, konsumen muslim
juga berhak atas produk yang terbebas dari unsur haram. Oleh karena
itu, pemerintah harus pula memberikan jaminan bahwa obat yang diberikan
kepada masyarakat benar-benar terbebas dari unsur haram. Dengan
pertimbangan itulah kami mendesak agar pemberlakuan UU BPJS Bidang
Kesehatan harus dibarengi dengan ketersediaan obat yang terjamin
kehalalannya.
Benarkah obat-obatan yang beredar saat ini banyak yang mengandung babi?
LPPOM MUI tidak bisa menyatakan sebuah produk mengandung babi atau
tidak sebelum melakukan pemeriksaan, baik secara ilmiah yang dilakukan
oleh para ahli melalui laboratorium maupun pemeriksaan yang bersifat
syar’ie yang dilakukan oleh para ulama di Komisi Fatwa MUI. Berkaitan
dengan hal tersebut, LPPOM MUI juga tidak bisa menyatakan sebuah produk
obat-obatan halal atau haram sebelum melakukan pemeriksaan, sementara
sifat sertifikasi masih sukarela. Artinya, sebelum perusahaan
bersangkutan mendaftarkan produknya, kami tidak bisa mengetahui
formulanya apakah menggunakan babi atau pernah bersentuhan dengan babi.
Karena hanya menganalisa bahan jadi saja belum bisa menentukan status
kehalalan bahan obat tersebut.
Bagaimana proses pembuatan obat hingga sampai masuknya bahan haram ke dalamnya?
Cara pembuatan obat tergantung pada bentuk sediaannya, apakah bentuknya
tablet, kaplet, sirup, salep, dsb. Prinsipnya adalah mencampur antara
bahan aktif obat yang memberi khasiat penyembuhan dengan bahan lain yang
dibutuhkan dalam pembentukan suatu sediaan obat yang disebut dengan
eksipien. Bahan aktif obat maupun eksipien dapat dibuat melalui
berbagai proses tergantung jenisnya. Prosesnya bisa berupa ekstraksi
dari bahan nabati atau hewani, sintesa kimiawi, fermentasi mikrobial
sampai rekayasa genetika. Dari segi kehalalan, sumber dan cara produksi
bahan aktif obat maupun eksipien penting diketahui untuk memastikan
semua bahan terhindar dari bahan haram maupun najis.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat ini belum perlu standisasi halal untuk obat. Bagaimana tanggapan LPPOM MUI?
LPPOM MUI belum menerima alasan IDI yang menyatakan belum perlunya
standar atau sertifikasi halal untuk obat, sehingga belum bisa
memberikan tanggapan. Namun, jika alasannya adalah karena pertimbangan
teknis pemeriksaan kehalalan yang dinilai rumit, terbukti bahwa sejumlah
produsen obat dan vaksin telah berhasil mendapatkan sertifikasi halal
dari MUI. Artinya, jika ada kehendak untuk mengajukan sertifikasi halal
maka hal tersebut tentu bisa dilakukan.
Apakah benar sertifikasi halal untuk obat sangat rumit?
Jika ada anggapan bahwa pemeriksaan obat sangat sulit dibandingkan
pangan, kami kira perkembangan pangan saat ini pun sudah sangat jauh
berekembang. Suatu bahan pangan bisa mengandung bahan baku ratusan bahan
baku termasuk bahan-bahan perisa (flavour) yang juga terdiri dari
bahan-bahan kimia yang rumit baik dihasilkan secara sintetik kimiawi,
biokimia atau mikrobial. Tapi nyatanya, saat ini sudah ada ribuan
perusahaan di bidang pangan yang telah lolos dari pemeriksaan dan
mendapatkan sertifikat halal dari MUI.
Kalau alasannya kedaruratan?
Jika alasannya adalah karena kedaruratan, dalam Islam telah diatur
bahwa sesuatu yang sifatnya darurat maka yang haram boleh dikonsumsi
karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar, misalnya untuk
mencegah kematian atau cacat permanen, atau menyebabkan sakit yg semakin
parahn, tetapi tidak boleh berlebihan atau berkepanjangan. Artinya,
sifat kedaruratan itu berlaku sementara. Jika tidak ada kebutuhan yang
mendesak seperti itu, maka sifat kedaruratan tadi tidak berlaku. Sifat
darurat juga otomatis gugur jika terdapat alternatif obat lain yang
telah halal.
Ada contoh kasus mengenai hal itu?
Ada. Salah satunya contohnya, MUI melalui fatwa Nomor 05 Tahun 2009
menyatakan bahwa vaksin meningitis untuk calon jemaah haji yang ketika
itu belum halal, boleh digunakan demi menjaga kesehatan dan keselamatan
calon jemaah haji. Namun, sejak adanya vaksin meningitis yang telah
bersertifikat halal maka fatwa MUI tentang kedaruratan penggunaan vaksin
yang belum halal tadi tidak berlaku lagi. Hal itu tertuang dalam Fatwa
MUI No. 06 Nomor 06 Tahun 2010 Tertanggal 16 Juli 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar